UU Pornografi menjerat bagi
setiap orang yang memiliki atau menyimpan produk pornografi (kecuali untuk
kepentingan pribadi) .Ketentuan tentang larangan kepemilikan produk pornografi
dinyatakan dalam pasal 6 bahwa Setiap orang dilarang memperdengarkan,
mempertontonkan, memanfaatkan, memiliki, atau menyimpan produk pornografi
kecuali diberi kewenangan oleh perundang-undangan. Yang dimaksud “diberi
kewenangan oleh perundang-undangan” misalnya lembaga sensor film, lembaga
pengawasan penyiaran, lembaga penegak hukum, lembaga pelayanan kesehatan dan
lembaga pendidikan.
Selanjutnya, Pasal 43 memerintahkan kepada setiap orang yang menyimpan atau
memiliki produk pornografi untuk memusnahkan sendiri atau menyerahkan kepada
pihak yang berwajib untuk dimusnahkan dalam waktu paling lama 1 bulan sejak UU
Pornografi berlaku. Pemusnahan yang dimaksud seperti menghapus semua file
komputer bermuatan pornografi yang tersimpan di CD, Harddisk, Flash disk atau
media penyimpanan lainnya. Tentu, bagi orang yang masih menyimpan produk
pornografi akan terkena sanksi pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau
denda paling banyak 2 miliar rupiah.
r� / e i �� �� n
pula, Pemerintah Singapura tidak ingin bermain-main dengan soal pornografi
dengan keras menindak para pelaku penyebaran pornografi terutama foto-foto
bugil dan memblokir akses situs porno. Bahkan, produk pornografi dalam kemasan
VCD termasuk majalah PlayBoy tidak akan dijumpai pada toko-toko di Singapura.
Bagaimana di Indonesia? Sudah banyak peraturan perundang-undangan yang memuat
larangan penyebaran pornografi, diantaranya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999
tentang Pers, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran,
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Peraturan
perundang-undangan tersebut dianggap kurang memadai dan belum memenuhi
kebutuhan hukum untuk memberantas pornografi secara efektif. Oleh karena itu,
sejak tahun 2006 telah bergulir pembahasan Rancangan Undang-Undang Anti
Pornografi dan Pornoaksi (RUU APP) di Dewan Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia. Dalam perjalanannya, RUU APP berganti menjadi RUU Pornografi dan
pada tanggal 30 Oktober 2008, DPR RI mengesahkan UU Pornografi melalui Sidang
Paripurna.
Pro dan Kontra mewarnai sebelum dan sesudah lahirnya UU Pornografi terhadap
beberapa hal seperti batasan pornografi, sanksi pidana, dan peran serta
masyarakat. Meskipun demikian, Pemerintah dan DPR RI menyadari sepenuhnya bahwa
Indonesia perlu segera memiliki UU Pornografi dengan pertimbangan bahwa
pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi dipandang sudah semakin
luas dan dapat mengancam kehidupan sosial masyarakat. Kita masih ingat berbagai
tindak kriminal terjadi di tengah masyarakat seperti pemerkosaan dan pelecehan
seksual dimana si pelaku terdorong melakukannya setelah menonton film porno di
internet, kasus maraknya penyebaran foto bugil di internet dari hasil rekayasa
foto, kasus jual-beli VCD Porno yang melibatkan orang dewasa maupun anak-anak,
dan masih banyak kasus lainnya. Dengan lahirnya UU Pornografi dimaksudkan untuk
segera mencegah berkembangnya pornografi dan komersialisasi seks di masyarakat,
dan memberikan kepastian hukum dan perlindungan bagi warga negara dari
pornografi, terutama bagi anak dan perempuan.
Memang disadari bahwa kemajuan teknologi ternyata memberikan ruang bagi
penyebaran pornografi, sebut saja penggunaan komputer untuk menggandakan
file-file bermuatan pornografi ke dalam VCD, kemudian dijual atau disewakan
kepada orang yang berminat. Internet yang sering digunakan untuk transaksi
dagang, penyebaran ilmu pengetahuan, penyebaran berita, ternyata dapat pula
dimanfaatkan untuk menyebarluaskan pornografi dalam bentuk informasi elektronik
berupa gambar, foto, kartun, gambar bergerak, dan bentuk lainnya.
Menurut peneliti LIPI, Romi Satria Wahono: setiap detiknya terdapat 28258 orang
melihat situs porno, setiap detiknya 372 pengguna Internet mengetikkan kata
kunci tertentu di situs pencari untuk mencari konten pornografi, dan jumlah
halaman situs pornografi di dunia mencapai 420 juta. Data tersebut memang sangat
mengejutkan kita karena penyebaran pornografi di internet sangat cepat, apalagi
di masa akan datang. Oleh karena itu, perlu komitmen yang serius dari
Pemerintah dan dukungan dari masyarakat untuk melakukan langkah yang tegas dan
efektif dalam mencegah dan memberantas pembuatan, penyebaran, dan penggunaan
produk pornografi.
Untuk mencegah dan memberantas penyebaran pornografi lewat komputer dan
internet, Indonesia telah memiliki peraturan perundang-undangan yang memuat
larangan penyebaran pornografi dalam bentuk informasi elektronik yakni UU No.
11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Pada pasal
27 ayat 1 berbunyi ”Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan
dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik
dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan”.
Sanksi pidana akan dikenakan bagi setiap orang yang melakukan perbuatan seperti
dinyatakan dalam pasal 27 ayat 1 yakni pidana penjara paling lama 6 (enam)
tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Dengan berlakunya UU Pornografi, UU ITE dan peraturan perundangan-undangan yang
memuat larangan pornografi tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan UU
Pornografi. Hal ini telah ditegaskan dalam Pasal 44 UU Pornografi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar